Senin, 12 Januari 2015

Ohayou Gozaimasu! (Japanese Behavior & Culture for Better Future)





Ohayou Gozaimasu!
(Japanese Behavior & Culture for Better Future)

Oleh : M.Riksa Rizky. F 
XI-MIPA-3 | SMAN 10 Samarinda




Ohayou Gozaimasu! Teriak murid-murid kelas lintas minat bahasa jepang di Smaridasa (SMAN 10 Samarinda),sambil menundukkan badan hampir 90 derajat,  memberi salam kepada Sensei Ilyas yang merupakan salah satu pengajar di sini. Hm,, agenda di sabtu yang cerah ini sangat menarik sekali. Penggunaan partikel “e” (へ) dan “de” (で) Partikel “e”sebagai kata depan “Ke” dan partikel “de” sebagai keterangan cara “Dengan” . “Jaa, Mite Kudasai! Watashi wa Baiku Depa-to e ikimasu, artinya saya pergi ke department store (Mall). Lihat, partikel “e” ditaruh di depan kata kerja yaa” seru Ilyas Sensei sangat bersemangat dalam mengajar. Akupun tak mau kalah dengan Sensei, bersemangat dalam memperhatikan materi yang diberikan.

Aku termotivasi untuk belajar bahasa dan budaya Jepang, karena aku suka melihat Idol Group remaja seusiaku, semisal AKB48 (Akihabara Fourty Eight) versi Jepang, dan berekspansi membuka cabang di Indonesia dengan nama JKT48. Grup yang fenomenal ini punya keunikan tersendiri, dengan jumlah anggota yang banyak, tapi tetap solid dan kompak dalam gerakan. Tekhnik vokal yang teruji, ditambah kedisiplinan mereka menjunjung tinggi korsa  AKB48 dan JKT48. Kehadiran mereka banyak memberikan warna lain dari sisi entertainment, hiburan yang menyenangkan,serta sajian video musiknya yang enerjik, berbeda dari yang lain.
Bukan itu saja, ketertarikkanku terhadap bahasa dan budaya Jepang, berawal dari hubungan yang menyenangkan antara Sensei sebagai pengajar dengan kami sebagai murid-murid. Kami diperlakukan sebagai Partner dan observer, bersisian di samping Sensei untuk belajar bersama memahami bahasa Jepang.  Pola pembelajaran Jugyokenkyu atau yang lebih populer dikenal sebagai lesson study yang Sensei terapkan yang diadopsi dari cara belajar pelajar-pelajar jepang, sangat membuat kami kagum, kami dilibatkan, terpokus kepada kami, bahkan kamilah sebagai observernya “Sensei Ilyas”. Kesederhanaan tekhnik pembelajaran Jugyokenkyu “Plan-Do-See” inilah yang membantu kami memahami pembelajaran bahasa dan budaya Jepang ini.

Tak jarang sehabis menyampaikan materi, Sensei menceritakan pengalaman-pengalaman menariknya selama di Jepang. “Kata, Sensei Ilyas :” Prinsip yang dipegang orang Jepang ialah selalu ramah, sopan dan tersenyum kepada orang yang baru dikenalnya. Dan mereka itu pekerja keras, tidak berperilaku konsumtif, lebih suka memakai produk sendiri.Semua itu dikarenakan tingginya kecintaan dan kepercayaan mereka terhadap negara.  
Seperti hari ini, Sensei Ilyas  menceritakan tentang kehidupan berlalu lintas di Jepang. “Orang Jepang jarang menggunakan mobil. Mereka hanya menggunakannya untuk perjalanan jauh, dan dalam keadaan urgent atau mendesak.” Mendengar itu, kami semua terdiam dan menyimak cerita sensei. “Lantas, mereka menggunakan apa ketika harus ke sekolah, ke kantor atau yang lainnya?” tanya salah satu temanku. “Hmm.. mereka suka berjalan kaki, menggunakan sepeda (Jitensha), dan jika lebih cepat mereka menggunakan Kereta Cepat (Shinkansen) yang mirip seperti kereta TGV di perancis”. Jawab Sensei dengan antusias.
Akupun bertanya. “Sensei, mengapa mereka lebih memilih kendaraan seperti itu dibanding dengan kendaraan pribadi seperti Kuruma (Mobil)? Kan enak tuh, jam perginya bisa diatur dan gak kepanasan lagi? “


“wah kalau itu beda Ki, orang jepang sangat disiplin. Mereka tidak biasa untuk terlambat. Makanya dia memilih untuk menggunakan Shinkansen dibanding menggunakan mobil peribadi, bukan itu saja Ki, biaya parkir di Jepang itu sangat mahal.  Mahalnya biaya parkir di Jepang membuat orang Jepang lebih memilih menggunakan kendaraan umum, dan pilihan ini secara tidak langsung membantu untuk mengurangi kemacetan di sana.  Oh ya, kamu tau gak, tingkat keterlambatan Shinkansen hanya 14-18 detik tiap tahunnya!  Jika ada kesalahan teknis pada kereta yang menyebabkan keterlambatan, maka biasanya dari pihak kereta memberikan kita surat yang menyatakan bahwa kereta yang kita tumpangi mengalami kendala sehingga keterlambatan
tidak bisa dihindarkan. Dan surat itu dapat dijadikan dispensasi oleh sekolah,kantor,atau instansi lainnya karena kereta kita terlambat. Keren bukan?”
Sensei menambahkan bahwa sistem Ticketing di sana sudah teratur dan canggih. Untuk menaiki Shinkansen, kita diwajibkan membeli kartu terlebih dahulu. Dan kartu tersebut saldonya dapat diisi sesuai kemauan dan kebutuhan. Jadi, jika kita ingin berangkat, langsung saja tempelkan kartunya pada pendeteksi yang tersedia, lalu kita dapat menaikinya! Yah walaupun di negeri kita sistem ticketing nya masih dilakukan secara manual.
“Sensei, jika ini diterapkan di Indonesia terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, apa solusi kemacetan dapat teratasi? Tanyaku pada Sensei, hal ini berbanding terbalik dengan di Indonesia, orang Indonesia gemar sekali menggunakan kendaraan pribadi, dari roda 2 hingga  roda 4 dalam menunjang aktivitasnya, dibanding menggunakan kendaraan umun yang disediakan oleh pemerintah. Dan..notebene  80 sampai 90 persen kendaraan orang Indonesia merupakan buatan Jepang, maupun lisensi dari Jepang!  Bagaimana ini? Apa yang bisa kita pelajari dari negara Jepang untuk tidak macet?  Lalu apa kontribusi negara Jepang terhadap kemacetan di Indonesia, sebagai tanggung jawab moril atas produk-produk kendararaan mereka yang laris terjual di Indonesia? “
Hmm...Sensei Ilyas tersenyum mendengar rentetan pertanyaanku.  “Ki, semua yang kamu tanyakan itu terpulang pada budaya dan mental orang-orang Jepang, yang berbeda dengan mind set orang-orang kita, kita butuh revolusi mental untuk merubah semua ini.  Di setiap keluarga harus berusaha menciptakan generasi yang disiplin, bertanggung jawab dan berkarakter.  Coba perhatikan Ki, hampir sebagian orang kota berbudaya hedonis, komsumtif dan karena rasa gengsi,mereka enggan menggunakan kendaraan umum,karena mereka ingin dipandang atas status sosialnya. sehingga mereka memilih membeli kendaraan pribadi, dari satu, dua, bahkan sejumlah anggota keluarganya punya motor atau mobil.


Diperparah lagi dengan ketidak mampuan pemerintah menyediakan dan memfasilitasi kendaraan umum yang layak bagi masyarakat.  Lihat saja keberadaan kendaraan umum seperti bus-bus tua yang belum pensiun dan masih dioprasikan, gerbong-gerbong kereta serta rel-rel yang ada itu adalah warisan dari penjajah Belanda, dan Jepang.  Di tambah lagi pembangunan jalan tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang melintasinya.  Semua ini adalah mata rantai penyebab kemacetan yang ada di negara kita.”
“Lalu harus bagaimana mengurainya Sensei?”  Tanyaku lanjut.., “Ki, sebenarnya semua ini dapat terurai, jika semua komponen bangsa ini mulai dari rakyatnya, pemerintahnya mau menyadari dan membuka sedikit saja hati mereka untuk kembali menjalankan fungsi dan tanggungjawab mereka, apakah itu sebagai rakyat, atau sebagai pemerintah.
Sebagai rakyat, mulailah hal-hal yang sederhana, kecil dan sekarang, tanamkan pada diri sendiri dan keluarga untuk hidup sederhana, menyanyangi dan menyenangi produk yang dihasilkan bangsa sendiri, merawatnya dan memeliharanya.  Kalau hal ini diterapkan pada fasilitas umum yang disediakan oleh pemerintah, pastilah akan terpelihara dan awet.  Tidak seperti sekarang, halte-halte dirusak, dicoret-coret, kursi-kursi di bus dan kereta juga tidak terpelihara.  Kebersihan kendaraan umum kita, juga membuat kita enggan menaiiki, Metro Mini yang jorok, baunya tidak sedap, sampah di mana-mana.  Belum lagi keamanan penumpang dalam berkendaraan umum, masih perlu dipertanyakan.  Pengamen, penjambretan, bahkan pembunuhan terjadi di kendaraan umum.  Hal ini juga dijadikan sebagai alasan enggannya orang Indonesia menggunakan kendaraan umum.  Jadi Ki, mulailah pada dirimu sendiri untuk senantiasa  bertanggung jawab, memelihara dan menjaga keberadaan fasilitas umum, minimal kamu tidak merusaknya.  Jika semua dari kita, menyadari itu, pasti kita bisa seperti Jepang.
Sebagai pemerintah, kita menaruh harapan besar, agar dapat membangun dan menyediakan fasilitas-fasilitas umum yang layak bagi rakyatnya, tidak di pusatkan di kota saja, tetapi juga di daerah-daerah yang berkembang bahkan yang terisolir.  Kita menyadari ini bukan hal yang mudah bagi pemerintah, ini hal yang kompleks, dan tidak instan.  Perbanyak kendaraan umum dan fasilitasnya, bangun dan tambah volume jalan, tambah jumlah kendaraan umum alternatif seperti penyediaan bus tingkat, bus sekolah, bus pasar, kereta listrik, kereta bawah tanah, halte, terminal dan trobosan kendaraan air, seperti kapal bagi kota yang ada aliran sungainya.
  Dan jangan lupa, regulasi tentang tata cara impor mobil-mobil mewah diperketat, cara memperoleh fasilitas kredit mobil atau motor diatur ulang lagi, agar tidak terlalu mudah mendapatkannya. Misalnya sekarang harga cicilan mobil atau motor yang semakin murah membuat masyarakat semakin ingin membeli mobil atau motor, walaupun hanya sekedar ingin “jalan- jalan rekreasi atau hanya sebagai life style” bukan suatu kebutuhan mereka! tanpa mereka sadari, mereka akan memenuhi volume jalan yang setiap penambahannya berbanding terbalik dengan penambahan kendaraan di Indonesia.
Hal yang dapat diadaptasi dari Jepang adalah penerapan biaya parkir yang sangat mahal per jamnya, mungkin dapat menjadi pilihan bagi pemerintah di samping peng-gembokkan mobil yang parkir liar oleh satpol PP.
Mungkin hanya ada di Indonesia, membeli tiket kendaraan melalui “Calo”,   apapun itu, peran calo juga sangat menyusahkan perolehan tiket kendaraan umum di Indonesia, sudah saatnya kita mulai menerapkan E-Ticketing, seperti di negara Jepang.  Pemberlakuan E-Ticketing sangat membantu antrian pembelian tiket, belum lagi harga tiket via calo sudah sepuluh kali lipat menjerat penumpang.”
Pemikiran-pemikiran di atas memang butuh kajian dan refrensi lebih lanjunt, namun cerita dari Sensei Ilyas dalam pembelajaran lintas minat bahasa Jepang, membuat kami mulai berpikir untuk berbuat,  minimal tidak ikut merusak dan menyumbang kemacetan di Indonesia.
Jepang Oh...Jepang negeri yang mungkin akan ku kunjungi suatu saat nanti, untuk membuktikan cerita-cerita Sensei Ilyas...
Jepang Oh ...Jepang, aku ingat semboyangmu dalam pelajaran sejarah. “ Jepang 3 A”
Nippon cahaya asia, Nippon pembela asia, Nippon pelindung asia, itu adalah semboyanmu dulu untuk menaklukkan asia, tapi kini semboyan itu menginspirasi menyebar aspirasi untuk berbagi informasi teknologi  untuk kemaslahatan dunia.

“Ting tung... Jam pelajaran ke 2 telah selesai. Saatnya jam pelajaran ke 3” Bel sekolah telah berbunyi menandakan jam pelajaran lintas minat hari ini telah selesai. Setelah ini, aku akan mengurus beberapa berkas dengan guru lain. Dan sensei masih di dalam kelas untuk mengajar siswa lintas minat lainnya.
Aku keluar kelas dengan riang dan aku salim dengan mengucap “Ohayou Gozaimasu Sensei!” tiba tiba sensei kaget dan memberitahuku. “Ki, apakah kamu ingat? Orang jepang hanya mengucap satu kali salam saja untuk satu hari kepada orang yang telah bertemu?” Oh iya!,Gomennasai, saya lupa. karena saya sangat senang hari ini mendapat ilmu dan pengalaman baru! Jadi pikiran saya seakan segar seperti pagi hari! Hehehehe”... sedikit dari celotehanku

0 komentar:

Posting Komentar